A.
Kedatangan Jepang ke Indonesia
1. Restorasi Meiji Awal Modernisasi Jepang
Pemerintahan Jepang dilaksanakan oleh Shogun Tokugawa
atau Keshogunan Edo (Edo Bakufu) yang menjalankan politik sakoku atau politik
isolasi. Terjadi persaingan antara Shogun dengan Daimyo yang semakin ketat. Pada
31 Maret 1854, Komodor Matthew C. Perry datang dan berhasil memaksa Jepang
menandatangani Perjanjian Kanagawa (1854). Antara Amerika Serikat dan pemerintah
Jepang. Dalam apa yang kemudian dikenal sebagai "pembukaan Jepang",
kedua negara sepakat untuk terlibat dalam perdagangan terbatas dan menyetujui
pengembalian aman para pelaut Amerika yang telah terdampar di perairan Jepang. Perry memaksa Jepang membuka
pelabuhan-pelabuhan untuk kapal-kapal asing yang ingin berdagang. Komodor Perry
datang ke Jepang menaiki kapal super besar yang dilengkapi persenjataan dan
teknologi yang jauh lebih superior dibandingkan milik Jepang saat itu.
Pada tanggal 6
April 1868, Meiji Tenno memproklamasikan Charter Outh (Sumpah
Setia) menuju Jepang baru yang terdiri atas lima pasal, seperti berikut:
1. Akan dibentuk parlemen.
2. Seluruh bangsa harus bersatu untuk
mencapai kesejahateraan.
3. Adat istiadat yang kolot dan yang
menghalangi kemajuan Jepang harus dihapuskan.
4. Semua jabatan terbuka untuk siapa
saja.
5. Mendapatkan ilmu pengetahuan
sebanyak mungkin untuk pembangunan bangsa dan negara.
Untuk mencapai
cita-cita tersebut maka Meiji Tenno melaksanakan pembaharuan restorasi. Itulah
sebabnya Kaisar Meiji kemudian dikenal dengan Meiji Restorasi. Restorasi yang
dilakukan meliputi segala bidang, yakni politik, ekonomi, pendidikan dan
militer.
2. Masuknya Jepang ke Indonesia
Pada
tanggal 7 Desember 1941, Jepang mengadakan serangan terhadap pangkalan militer Amerika
Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Jepang berhasil menenggelamkan kapal Angkatan laut
Amerika. Sejak saat itu, Amerika menyatakan perang terhadap Jepang dalam perang
dunia II. Pasukan tantara berhasil juga menguasai basis militer Amerika di
Filipina, kemudian serangan itu diarahkan ke Indonesia. Serangan ini
dimaksudkan untuk mendapatkan cadangan logistik dan bahan industri perang,
seperti minyak bumi, timah, dan alumunium. Sebab, persediaan minyak di Indonesia
diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan Jepang selama Perang Pasifik.
Dalam
rangka menguasai Indonesia, Jepang menyerang markas-markas Belanda di Tarakan
di Kalimantan Timur dan Balikpapan pada 12 Januari 1942, kemudian Sumatra, dan
Jawa pada Februari 1942. Tanggal 5 Maret 1942 Batavia dan Bogor berhasil dikuasai
Jepang. Pada tanggal 8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda
Letnan Jenderal H. Ter Poorten, atas nama Angkatan Perang Sekutu di Indonesia,
menyerah tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi
Imamura.
Penyerahan
tanpa syarat tersebut ditandai dengan persetujuan Kalijati yang diadakan di
Subang, Jawa Barat. Isi persetujuan tersebut adalah penyerahan hak atas tanah
jajahan Belanda di Indonesia kepada pemerintahan pendudukan Jepang. Artinya,
bangsa Indonesia memasuki periode penjajahan yang baru.
3.
Sambutan Rakyat Indonesia
Meski
kedatangannya, seperti juga Belanda, adalah untuk tujuan menjajah, Jepang
diterima dan disambut lebih baik oleh bangsa Indonesia. Berikut alasan yang
melatarbelakangi perbedaan sikap tersebut.
- Jepang menyatakan bahwa
kedatangannya di Indonesia tidak untuk menjajah, bahkan bermaksud untuk
membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan
- Jepang melakukan propaganda melalui
Gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang pemimpin
Asia).
- Jepang mengaku sebagai saudara tua
bangsa Indonesia yang datang dengan maksud hendak membebaskan rakyat
- Adanya semboyan Hakko Ichiu,
yakni dunia dalam satu keluarga dan Jepang adalah pemimpin keluarga
tersebut yang berusaha menciptakan kemakmuran
Pihak
Jepang terus melakukan propaganda untuk
menggerakkan dukungan rakyat Indonesia. Setiap kali radio Tokyo memperdengarkan
lagu Indonesia Raya, disamping lagu Kimogayo. Bendera yang berwarna Merah Putih
juga boleh dikibarkan berdampingan dengan bendera Jepang Hinomaru. Melalui
siaran radio, juga dipropagandakan bahwa barang-barang buatan Jepang itu
menarik dan murah harganya, sehingga mudah bagi rakyat Indonesia untuk
membelinya.
4. Pembentukan Pemerintahan Militer
Pendudukan
Jepang di Indonesia dibagi dalam tiga wilayah, antara lain:
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat
ke-25 (Tomi Shudan), wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra dengan pusat
pemerintahan di Bukittinggi
- Pemerintahan Militer Angkatan Darat
ke-16 (Asamu Sudan), wilayah kekuasaannya meliputi Jawa dan Madura dengan
pusat pemerintahan di Jakarta.
- Pemerintahan Militer Angkatan Laut
II (Armada Selatan Kedua), wilayah kekuasaannya meliputi Sulawesi,
Kalimantan, dan Maluku dengan pusat pemerintahan di Makassar.
Pemerintahan
militer di Sumatra yang berada di bawah Panglima Tentara Keduapuluhlima
membentuk sepuluh karesidenan (syu) yang terdiri dari bungsyu (subkaresidenan), gun,
dan son. Kesepuluh syu tersebut adalah Aceh,
Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang,
Lampung, dan Bangka Bilitan (Belitung). Jabatan syucokan dipegang
oleh orang Jepang. Selain
pemerintahan militer (gunsei) angkatan darat, Armada Selatan Kedua juga
membentuk suatu pemerintahan yang disebut Minseibu. Pemerintahan
ini terdapat di tiga tempat, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Seram. Daerah
bawahannya meliputi syu, ken, bunken (subkabupaten), gun,
dan son.
Seperti
di Pulau Jawa dan Sumatra, tidak lama setelah pendaratan tentara Jepang,
orang-orang Indonesia mendapatkan jabatan-jabatan tinggi. Namun, setelah bulan
Agustus 1942, jabatan- jabatan yang disediakan untuk orang Indonesia hanya
terbatas sampai gunco dan sanco, sedangkan jabatan
wali kota untuk Makassar, Manado, Banjarmasin, dan Pontianak dipegang oleh
orang Jepang.Pemerintahan pendudukan militer di Jawa sifatnya hanya sementara,
sesuai dengan Osamu Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang dikeluarkan
tanggal 7 Maret 1942 oleh Panglima Tentara Keenam belas. Undang-undang
tersebut menjadi pokok dari peraturan-peraturan ketatanegaraan pada masa
pendudukan Jepang. Jabatan gubernur jenderal di zaman Hindia Belanda
dihapuskan. Segala kekuasaan
yang dahulu dipegang gubernur jenderal sekarang dipegang oleh panglima tentara
Jepang di Jawa.
Undang-undang
tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemerintahan pendudukan Jepang berkeinginan
untuk terus menggunakan aparat pemerintah sipil yang lama beserta para
pegawainya. Hal
ini dimaksudkan agar pemerintahan dapat terus berjalan dan kekacauan dapat
dicegah. Adapun pimpinan pusat tetap dipegang tentara Jepang.
Susunan
pemerintahan militer Jepang sebagai berikut.
a. Gunshireikan (panglima tentara) disebut Saiko
Shikikan (panglima tertinggi), merupakan pucuk pimpinan panglima tentara
yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Bertugas menetapkan peraturan
yang dikeluarkan oleh Gunseikan. Peraturan itu disebut Osamu
Kanrei. Peraturan-peraturan tersebut diumumkan dalam Kan Po (berita
pemerintahan), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu.
b.
Gunseikan (kepala pemerintahan militer), yang dirangkap oleh
kepala staf. Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Gunseikanbu adalah
staf pemerintahan militer pusat yang terdiri dari lima bu (departemen):
Sumabu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu
(Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan), Kotsubu (Departemen Lalu
Lintas), dan Shihobu (Departemen Kehakiman).
c. Koordinator
pemerintahan militer setempat disebut gunseibu. Pusat-pusat
koordinator militer tersebut berada di Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa
Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Selain itu, dibentuk pula dua daerah
istimewa (koci), yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Untuk
setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer
setempat. Mereka bertugas memulihkan ketertiban dan keamanan, menanamkan
kekuasaan, dan membentuk pemerintahan setempat. Mereka juga diberi wewenang
untuk memecat para pegawai yang berkebangsaan Belanda. Akan tetapi, usaha untuk
membentuk pemerintahan setempat ternyata tidak berjalan lancar.
Jepang
masih sangat kekurangan tenaga pemerintah. Jepang telah berusaha mengirimkan
tenaga yang dibutuhkan, namun tidak sampai ke tujuan karena kapal yang
mengangkut tenaga-tenaga pemerintahan tersebut tenggelam setelah terkena
serangan torpedo sekutu. Akhirnya,
Jepang terpaksa mengangkat pegawai-pegawai dari bangsa Indonesia asli. Hal ini
memberi keuntungan bagi pihak Indonesia karena memperoleh pengalaman dalam
bidang pemerintahan.
5.
Pemerintahan Sipil
Menurut
Undang-Undang No. 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah, seluruh Pulau
Jawa dan Madura (kecuali kedua kochi, Surakarta dan Yogyakarta)
dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
- Syu (karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
- Syi (kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
- Ken (kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco.
- Gun (kawedanan atau distrik), dipimpin oleh
seorang gunco.
- Son (kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
- Ku (kelurahan atau desa), dipimpin oleh
seorang kuco.
Dalam
menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis
Pemusyawaratan Cokan) yang terdiri dari tiga bu (bagian),
yaitu Naiseibu (bagian pemerintahan umum), Keizaibu (bagian ekonomi), dan
Keisatsubu (bagian kepolisian). Para
syucokan secara resmi dilantik oleh gunseikan pada bulan
September 1942. Pelantikan ini merupakan awal dari pelaksanaan organisasi
pemerintahan daerah dan menyingkirkan pegawai-pegawai Indonesia yang pernah
menduduki kedudukan tinggi pada masa pemerintahan sementara.
Pemerintah
Jepang juga membentuk Tonarigumi, yang pada masa sekarang ini kita kenal dengan
Rukun Tetangga (RT). Tonarigumi ini digunakan oleh pemerintah Jepang untuk
mengawasi gerak-gerik rakyat agar dapat dipantau oleh pemerintah Jepang.
B. Organisasi Pergerakan Masa Pendudukan Jepang
Selama
masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dilarang membentuk organisasi sendiri.
Akan tetapi, Jepang sendiri membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat
Indonesia dengan maksud dipersiapkan untuk membantu Jepang.
Organisasi-organisasi ini pada akhirnya berbalik melawan Jepang.
1.
Organisasi yang bersifat sosial Kemasyarakatan
a. Gerakan Tiga A
Gerakan
Tiga A merupakan organisasi propaganda untuk kepentingan perang Jepang.
Organisasi ini berdiri pada 29 Maret 1942. Pimpinannya adalah Mr. Syamsuddin.
Tujuan berdirinya Gerakan Tiga A adalah agar rakyat dengan sukarela
menyumbangkan tenaga bagi perang Jepang.
Semboyannya
adalah Nippon cahaya Asia, Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia. Untuk
menunjang gerakan ini, dibentuk Barisan Pemuda Asia Raya yang dipimpin Sukarjo
Wiryopranoto. Adapun untuk menyebarluaskan propaganda, diterbitkan surat kabar
Asia Raya.
Setelah
kedok organisasi ini diketahui, rakyat kehilangan simpati dan meninggalkan
organisasi tersebut. Pada tanggal 20 November 1942, organisasi ini dibubarkan.
b. Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
Pada
tanggal 16 April 1943, diumumkan lahirnya gerakan baru yang disebut Pusat
Tenaga Rakyat atau Putera. Pemimpinnya adalah empat serangkai, yaitu Ir.
Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansyur.
Menurut
SoekarnotTujuan Putera adalah untuk membangun dan menghidupkan segala sesuatu
yang telah dihancurkan oleh Belanda. Adapun tujuan bagi Jepang adalah untuk
memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia dalam rangka membantu usaha
perangnya.
Oleh
karena itu, telah digariskan sebelas macam kegiatan yang harus dilakukan
sebagaimana tercantum dalam peraturan dasarnya. Di antaranya yang terpenting
adalah memengaruhi rakyat supaya kuat rasa tanggung jawabnya untuk menghapuskan
pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda, mengambil bagian dalam mempertahankan
Asia Raya, memperkuat rasa persaudaraan antara Indonesia dan Jepang, serta
mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang. Di samping itu, Putera juga
mempunyai tugas di bidang sosial-ekonomi.
Jadi,
Putera dibentuk untuk membujuk para kaum nasionalis dan golongan intelektual
agar mengerahkan tenaga dan pikirannya guna membantu Jepang dalam rangka
menyukseskan Perang Asia Timur Raya. Organisasi Putera tersusun dari pemimpin
pusat dan pemimpin daerah. Pemimpin pusat terdiri dari pejabat bagian usaha
budaya dan pejabat bagian propaganda.
Akan
tetapi, organisasi Putera di daerah semakin hari semakin mundur. Hal ini
disebabkan, antara lain,
- keadaan sosial masyarakat di daerah
ternyata masih terbelakang, termasuk dalam bidang pendidikan, sehingga
kurang maju dan dinamis;
- keadaan ekonomi masyarakat yang
kurang mampu berakibat mereka tidak dapat membiayai gerakan
Dalam
perkembangannya, Putera lebih banyak dimanfaatkan untuk perjuangan dan
kepentingan bangsa Indonesia. Mengetahui hal ini, Jepang membubarkan Putera dan
mementingkan pembentukan organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai.
c. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis
Syura Muslimin (Masyumi)
MIAI
merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada
tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan. Organisasi
ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang sebab merupakan gerakan
anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal (sebagai baitulmal) serta
penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang
besar menyebabkan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang gerak MIAI.
Pada
awal pendudukan, Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agama yang dipimpin
oleh Kolonel Horie. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama di
Surabaya. Dalam
pertemuan tersebut, Horie meminta agar umat Islam tidak melakukan kegiatan-
kegiatan yang bersifat politik. Permintaan ini disetujui oleh peserta pertemuan
tersebut yang kemudian membuat pernyataan sikap di
akhir pertemuan. Pada akhir Desember 1942, hasil pertemuan di Surabaya itu
ditingkatkan dengan mengundang 32 orang kiai di seluruh Jawa Timur untuk
menghadap Letnan Jenderal Imamura dan Gunseikan, Mayor Jenderal Okasaki. Dalam
pertemuan tersebut, Gunseikan menyatakan bahwa Jepang akan tetap menghargai
Islam dan akan mengikutsertakan golongan Islam dalam pemerintahan.
Pemerintah
militer Jepang memilih MIAI sebagai satu-satunya wadah bagi organisasi gabungan
golongan Islam. Akan tetapi, organisasi ini baru diakui oleh Jepang setelah
mengubah anggaran dasarnya, khususnya mengenai asas dan tujuannya. Pada
asas dan tujuan MIAI ditambahkan kalimat: “… turut bekerja dengan
sekuat tenaga dalam pekerjaan membangun masyarakat baru untuk mencapai
kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon.”
Sebagai
organisasi tunggal golongan Islam, MIAI mendapat simpati yang luar biasa dari
kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat
perkembangan ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh
MIAI di berbagai daerah mulai diawasi. Untuk mengantisipasi agar gerakan para
pemuka agama Islam tidak menjurus pada kegiatan yang berbahaya bagi Jepang,
diadakan pelatihan para kiai. Para
kiai yang menjadi peserta pelatihan tersebut dipilih berdasarkan syarat-syarat
memiliki pengaruh yang luas di lingkungannya dan mempunyai watak yang baik.
Pelatihan tersebut berlangsung di Balai Urusan Agama di Jakarta selama satu
bulan.
Arah
perkembangan MIAI ini mulai dipahami oleh Jepang sebagai organisasi yang tidak
memberikan kontibusi terhadap Jepang. Hal tersebut tidak sesuai dengan harapan
Jepang sehingga pada November 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai penggantinya,
Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia.
Organisasi
ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Susunan kepengurusan
Masyumi adalah ketua pengurus besar dipegang oleh K.H. Hasyim Asy’ari, wakil
dari Muhammadiyah adalah K.H. Mas Mansur, K.H. Farid Ma’ruf, K.H. Mukti, K.H.
Hasyim, dan Kartosudarmo. Adapun wakil dari NU adalah K.H. Nachrowi, Zainul
Arifin, dan K.H. Mochtar.
d. Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai)
Tahun
1944, situasi Perang Asia Timur mulai berbalik, tentara sekutu dapat
mengalahkan tantara Jepang di berbagai tempat. Hal ini menyebabkan kedudukan
Jepang di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Jepang mendirikan Jawa Hokokai
pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini diperintah langsung oleh kepala
pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa
Hokokai adalah Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak
Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh
karena itu, Jepang merancang pembentukan organisasi baru yang mencakup semua
golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa Hokokai
diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.
Sebelum
mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu meminta
pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan adalah semakin hebatnya Perang
Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi baru untuk lebih
menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar
organisasi ini adalah pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat
kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa persaudaraan, dan
melaksanakan sesuatu dengan bakti.
Secara
tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk
pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan
Jawa Hokokai pada tingkat pusat dipegang langsung oleh Gunseikan.
Adapun
pimpinan daerah diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan sampai
Kuco. Kegiatan-kegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran
dasarnya sebagai berikut.
- Melaksanakan segala Tindakan dengan
nyata dan ikhlas demi pemerintah Jepang.
- Memimpin rakyat untuk mengembangkan
tenaganya berdasarkan semangat persaudaraan.
- Memperkokoh pembelaan tanah air
Anggota
Jawa Hokokai adalah bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa
Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari berbagai kelompok
profesi misalnya Kyoiku Hokokai (Kebaktian para pendidik guru-guru) dan Isi Hokokai
(wadah kebaktian pada dokter). Jawa Hokokai juga memiliki anggota istimewa
seperti Fujinkai (organisasi wanita), dan Keimin Bunka Shidosho (Pusat
Kebudayaan).
Jawa
Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada
tahun 1945, semua kegiatan pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh
Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan tugas dengan nyata dan
menjadi alat bagi kepentingan Jepang.
Organisasi
ini tidak berkembang di luar Jawa, sehingga golongan nasionalis di luar Jawa
kurang mendapatkan wadah. Penguasa di luar Jawa seperti di Sumatera berpendapat
bahwa di Sumatera terdapat banyak suku, Bahasa, dan adat istiadat, sehingga
sulit dibentuk organisasi besar dan memusat, kalau ada hanya local di tingkat
daerah saja. Dengan demikian, organisasi Jawa Hokokai ini juga dapat berkembang
sesuai yang diinginkan Jepang.
Setelah membaca materi awal kedatangan Jepang ke Indonesia silakan jawab pertanyaan berikut pada kolom komentar
"Mengapa Jepang sangat bersemangat membentuk organisasi pergerakan di Indonesia?"